Pimpinan Bawaslu Provinsi Bali mengikuti Webinar Strategi dan Efektivitas Penegakan Hukum Pemilu (Penanganan Pelanggaran) di Pilkada 2020 untuk Mewujudkan Pilkada yang Berkeadilan
|
Denpasar, Bawaslu Provinsi Bali – Pimpinan Bawaslu Provinsi Bali I Ketut Sunadra dan I Ketut Rudia mengikuti Webinar Strategi dan Efektivitas Penegakan Hukum Pemilu (Penanganan Pelanggaran) di Pilkada 2020 untuk Mewujudkan Pilkada yang Berkeadilan yang diselenggarakan oleh Fakultas Hukum Universitas Dwijendra Bali, Jum’at (24/07).
Webinar ini dihadiri oleh Bawaslu Provinsi Bali dan Bawaslu Kabupaten/Kota se-Bali, KPU Provinsi Bali dan KPU Kabupaten/Kota se-Bali, FKUB Provinsi Bali dan FKUB Kabupaten/Kota se-Bali, KNPI Bali, Pengurus Parpol Provinsi Bali dan Kabupaten/Kota se-Bali, Pemerintah Daerah Provinsi Bali, Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota se-Bali, Polda Bali, Polres se-Bali, serta BEM Universitas se-Bali.
Adapun narasumber dalam webinar ini yakni Anggota Bawaslu RI Dr. Ratna Dewi Pettalolo, S.H., M.H., Wakil Ketua Komisi II DPR RI Saan Mustopa, M.Si., serta Akademisi dan Mantan Ketua Panwaslu Bali Dr. Drs. I Wayan Juana, S.E., AK., M.M.
Anggota Bawaslu RI Ratna Dewi Pettalolo yang menjadi narasumber webinar ini menyampaikan bahwa ada tugas penting yang harus diwujudkan secara bersama berkaitan dengan pelaksanaan pemilihan tahun 2020 di tengah pandemi covid-19, yaitu menjaga kualitas pemilihan sehingga harus dipastikan keseluruhan proses pemilihan dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan dan hasilnya sesuai dengan apa yang menjadi kehendak rakyat. Selanjutnya, memastikan bahwa pilkada di tengah pandemi covid-19 ini tetap bisa menjamin keselamatan seluruh pihak yang terlibat dalam proses pemilihan baik itu penyelenggara, pemilih, dan juga peserta pemilihan.
Selain itu Ratna mengungkap permasalahan yang ditemukan di dalam penanganan pelanggaran pemilihan. Pertama, peraturan perundang-undangan multitafsir atau tidak jelas. Untuk mengatasi hal ini tentunya harus melalui revisi peraturan perundang-undangan. Kedua, jangka waktu penanganan pelanggaran yang sangat singkat. Dalam Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 tentang Penetapan Perpu Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota menjadi Undang-Undang, mengatur batas waktu untuk menangani penanganan pelanggaran adalah 3 hari setelah laporan diterima dan meminta keterangan tambahan dari pelapor dan penanganan pelanggaran adalah 2 hari. Tentu bukan waktu yang memadai untuk mencapai kualitas penanganan pelanggaran yang baik. Ketiga, masalah perbedaan pendapat dalam sentra gakkumdu. Sentra gakkumdu merupakan salah satu instrumen yang diciptakan dalam penanganan pelanggaran khususnya tindak pidana pemilihan dimana ada pihak kepolisian dan kejaksaan yang ikut dalam proses pembahasan penanganan pelanggaran. Sentra gakkumdu bertujuan untuk menyamakan persepsi dalam menangani kasus tindak pidana pemilihan dalam penerapan pasal dan unsur-unsurnya. Namun seringkali terdapat perbedaan pola berpikir progresif Bawaslu dengan pola berpikir normatif penegak hukum sehingga beberapa kasus pelanggaran pemilihan harus berhenti pada pembahasan dalam sentra gakkumdu. Keempat, masalah rekomendasi administrasi yang tidak dilaksanakan oleh jajaran KPU. Terhadap rekomendasi Bawaslu misalnya rekomendasi untuk pemungutan suara ulang, rekomendasi perbaikan daftar pemilih tetap atau rekomendasi untuk pemilihan lanjutan menjadi kewenangan KPU sehingga butuh komitmen yang kuat dari KPU untuk melaksanakan rekomendasi Bawaslu. Kelima, masalah kekhawatiran di masa pandemi covid-19 ini dalam proses penanganan pelanggaran. Untuk menghindari resiko tertular, bisa saja pelapor, terlapor, saksi, dan ahli keberatan untuk diperiksa di kantor Bawaslu. Terutama ketika terlapor tidak hadir dalam proses klarifikasi maka dapat menghambat proses penanganan pelanggaran, terlebih Bawaslu tidak memiliki kewenangan pemanggilan paksa. Sehingga ketika proses klarifikasi tidak dilakukan maka laporan atau temuan bisa tidak dilanjutkan penanganannya. Keenam, yang dikhawatirkan adalah menurunnya partisipasi masyarakat dalam menyampaikan pelaporan padahal kita ketahui bersama tidak semua pelanggaran apalagi kejahatan politik uang dan mahar politik terjadi di ruang publik melainkan di ruang privat sehingga butuh partisipasi masyarakat. Ketika partisipasi masyarakat menurun, dikhawatirkan akan banyak pelanggaran-pelanggaran yang tidak terdeteksi oleh Bawaslu di dalam proses pemilihan tahun 2020.
Narasumber dari Wakil Ketua Komisi II DPR RI Saan Mustopa menyampaikan bahwa pilkada tahun 2020 ini harus dilaksanakan menyesuaikan dengan protokol covid-19 dengan tidak mengurangi kualitasnya. Komisi II DPR RI memberikan catatan, pertama terkait pentingnya keselamatan dan kesehatan para penyelenggara pemilihan, pemilih, dan peserta pemilihan. Hal ini untuk menghindari kekhawatiran dan keraguan para pihak untuk terlibat di dalam proses pilkada. Untuk melindungi kesehatan penyelenggara, peserta pemilihan dan juga pemilih, Peraturan KPU maupun Perbawaslu harus benar-benar menyesuaikan dengan protokol Covid-19. Kedua, kualitas pilkada tidak boleh berkurang walaupun di tengah pandemi Covid-19, karena berhubungan erat dengan kualitas demokrasi. Tingkat partisipasi pemilih dalam pilkada 2020 minimal harus di atas 70% agar kepala daerah yang terpilih mempunyai legitimasi yang kuat. Di tengah pandemi Covid-19 juga berdampak pada aspek sosial ekonomi masyarakat. Ia juga berharap Bawaslu bisa mengawasi terutama terkait dengan bantuan sosial, bantuan tunai langsung (BLT), dan politisasi birokrasi. Jangan sampai ada politisasi bantuan sosial, karena akan mencederai demokrasi, dan dapat mengurangi kualitas pilkada. Netralitas ASN dalam pelaksanaan Pilkada Serentak 2020 juga menjadi hal yang harus diawasi oleh jajaran Badan Pengawas Pemilu sesuai tingkatannya.
Selain itu penting juga bagi penyelenggara pilkada selain memiliki pemahaman terkait teknis kepemiluan maupun teknis pengawasan, juga harus memiliki literasi yang kuat terkait Covid-19. Sembari menjalankan teknis kepemiluan dan teknis pengawasan pemilu/pilkada, penyelenggara dapat melakukan edukasi dan/atau sosialisasi kepada masyarakat yang mempunyai hak sebagai pemilih dalam pilkada, sehingga dalam penyelenggaraan Pilkada Serentak Lanjutan Tahun 2020 di masa pandemic Covid-10, tidak akan melahirkan cluster baru penyebaran virus Covid-19, dengan memastikan sebagai penyelenggara Pilkada dan seluruh pihak, masyarakat pemilih dan para konsestan dan pendukungnya dipastikan disiplin menerapkan protokol kesehatan penanganan dan pencegahan Covid-19.
Narasumber terkahir yakni I Wayan Juana dari pihak akademisi, yang juga mantan Ketua Panwaslu Bali, menyampaikan bahwa pelaksanaan pilkada di masa covid-19 harus mendapat perhatian dari semua pihak. Partisipasi masyarakat harus dilaksanakan melalui pendidikan politik yang benar. Selain itu ada ruang-ruang khusus yang tidak dapat dijangkau oleh ketentuan Pemilihan, seperti adanya pemasangan atribut kampanye sebelum masa kampanye yang tidak diatur dalam ketentuan. Padahal hal ini marak terjadi terjadi di lapangan. Perlu dicari solusi terkait permasalahan tersebut, misalnya dengan pengaturan di dalam peraturan reklame yang dilaksanakan oleh pemerintah daerah, tidak berupa reklame atau iklan pencitraan untuk kepentingan politik Pemilu/Pilkada.