Pelatihan Peningkatan Kapasitas Pemberian Bantuan dan Pendampingan Hukum bagi Bawaslu Provinsi
|
Bawaslu Provinsi Bali telah mengikuti Pelatihan Peningkatan Kapasitas Pemberian Bantuan dan Pendampingan Hukum selama 6 (enam) hari mulai pada tanggal 5 Juni – 10 Juni 2020. Kegiatan tersebut diselenggarakan oleh Bawaslu Republik Indonesia dengan peserta sebanyak 12 (dua belas) Provinsi. Peserta dari Bawaslu Provinsi Bali terdiri dari Koordinator Divisi Hukum, Kabag Penyelesaian Sengketa Proses dan Hukum, 2 (dua) orang Staf Hukum. Kegiatan ini dilakukan secara daring melalui aplikasi zoom meeting dan dibuka oleh Koordinator Divisi Hukum Bawaslu Republik Indonesia Bapak Fritz Edward Siregar, SH, LL.M PhD.
Tujuan diselenggarakannya kegiatan ini adalah meningkatkan kemampuan identifikasi problem hukum non pemilu dan menyusun lamgkah-langkah bantuan hukum serta meningkatkan pemahaman mengenai konstitusional pemilu, desain keadilan pemilu (EJS), pertumbuhan kewenangan Bawaslu dalam penegakan hukum pemilu. Dalam kegiatan tersebut, peserta diminta untuk membuat argumentasi dan strategi hukum dalam sebuah studi kasus yang diberikan oleh fasilitator kegiatan. Terdapat 4 (empat) studi kasus hukum non pemilu yaitu Pidana, Perdata, TUN, dan Keterbukaan Informasi. Dengan adanya studi kasus tersebut peserta diharapkan mampu menganalisa jenis kasus hukum dalam penyelenggaraan pemilu, mampu menganalisa kewenangan (pemetaan aktor) penyelesaian kasus hukum perdata, pidana, TUN, dan keterbukaan informasi, memahami konstitusionalitas pemilu dan pilkada, memahami penegakan hukum pemilu dan electoral justice system, serta memahami perkembangan kewenangan bawaslu dalam penegakan hukum pemilu.
Pada hari ke-6 pelatihan ini, diisi dengan Diskusi Panel membahas mengenai Konstitusionalitas Pemilu dan Pilkada yang disampaikan oleh Prof. Dr. Saldi Isra S.H., M.P.A (Hakim Mahkamah Konstitusi), Penegakan Hukum Pemilu dan Electoral Justice System disampaikan oleh Dr. Khairul Fahmi, dan Perkembangan Kewenangaan Bawaslu dalam Penegakan Hukum Pemilu disampaikan oleh Veri Junaidi selaku Kepala Sekolah Pelatihan ini. Dalam penyampaian materinya, Prof. Saldi Isra menyampaikan bahwa dalam Konstitusi Indonesia di UUD 1945 telah menyebutkan mengenai hakekat pemilihan umum, meski tidak dijelaskan sistem pemilihan yang bagaimana yang dianut oleh pemerintahan kita. Konstitusi hanya menyebutkan pelaksanaan Pemilu oleh sebuah komisi pemilihan umum. Namun dewasa kini penyelenggara pemilu telah berkembang dimana ada juga Bawaslu dan DKPP.
Dr. Khairul Fahmi menyampaikan bahwa kita harus memaknai keadilan pemilu sebagai suatu kondisi dimana masyarakat dapat menyampaikan suaranya secara bebas tanpa ada rasa takut/ancaman. Ada 3 hal yang perlu dilakukan untuk mewujudkan keadilan pemilu, yaitu mengeliminasi penyalahgunaan instrumen hukum, mengeliminasi perbuatan manipulasi pemilih dan mengeliminasi manipulasi suara.
Terakhir Veri Junaidi menyampaikan desain perkembangan kewenangan Bawaslu dan optimalisasi proses penegakan hukum pemilu. Prinsip yang menjadi patokan untuk mendesain kelembagaan dan penegakan pemilu ke depannnya hendaknya memahami bahwa kewenangan Bawaslu yang paling menonjol adalah terkait dengan penanganan pelanggaran administrasi dan sengketa pemilu. Sehingga desain kewenangan yg akan dibangun harus bisa meminimalisir potensi tumpang tindihnya kewenangan yang dimiliki sebuah atau antar lembaga. Misalnya Bawaslu sebagai pengawas pemilu dan sebagai quasi peradilan yg memutus sebuah perkara. Bawaslu sebagai lembaga pengawas dituntut untuk kritis melihat situasi dalam penyelenggaran, namun di sisi lain sebagai hakim dalam penanganan sengketa dan pelanggaran administrasi dituntut sebagai lembaga yang netral, yg menerima sebuah perkara. Hal ini berpotensi memicu terjadinya conflict of interest dalam Bawaslu.
Selain itu perlu melihat kembali bagaimana optimalisasi kewenangan masing-masing institusi yang tergabung dalam Sentragakumdu. Perlu membuka ruang perubahan penegakan tindak pidana pemilu yang sejauh ini dipandang belum efektif. Apakah tidak lebih baik menyerahkan secara penuh kewenangan penegakan tindak pidana pemilu kepada kejaksaan dan kepolisian dan Bawaslu dioptimalkan sebagai quasi peradilan. Hal ini karena melihat dari desain tumbuh kewenangan Bawaslu yang lebih cenderung ke sana dan dalam melaksanakan kewenangan tersebut Bawaslu tidak bergantung pada lembaga lain. Tidak berarti kewenangan pengawasan dihilangkan, melainkan Bawaslu mengambil peran sebagai lembaga penghubung dan mendorong kelompok masyarakat untuk menjadi pengawas pemilu.