DISKUSI PUBLIK EVALUASI PENYELENGGARAAN DAN PERAN MEDIA DALAM PILKADA 2015 DI KOTA DENPASAR
|
Aston Hotel Denpasar, 3 juni 2016
Pada perhelatan Pemilu, peran media dan fungsinya terjadi perubahan dari tahun ke tahun, misalnya pemilu 2014 peran media begitu penting dan dan massif, namun pada pilkada 2015 perannya berkurang (khususnya media nasional) dan digantikan oleh media lokal.
Hasil penelitian LSPP (Lembaga Studi Pers dan Pembangunan), posisi media dalam Pilkada lebih banyak didominasi oleh kepentingan pemilik maupun petinggi media walaupun tidak sepenuhnya korelasi pemberitaan media berbanding lurus dengan hasil perolehan suara. Pada pilkada lalu, adanya media elektronik khususnya social media, menyebabkan media cetak oplahnya berkurang sehingga menyebabkan media cetak tidak punya pilihan sehingga membuat mereka harus dekat terhadap kepala daerah atau bekontribusi terhadap kepala daerah agar tetap survive, dari hal tersebut imbas yang terjadi saat pilkada kecenderungan media melakukan praktek ketidak berimbangan dalam pemberitaan, ditambah regulasi yang abu abu, sehingga media tidak punya ruang dalam hal membuka pendidikan politik yang netral, professional dan berimbang. Ada 3 (tiga) model penyalahgunaan media yakni, pemilik media menggunakan media sebagai alat kampanye pribadi, media menggunakan jurnalisnya sebagai calon agar nanti setelah terpilih dapat member kontribusi kembali, dan yang terakhir orang biasa yang bukan pemilik atau jurnalis yang memiliki kontrak halaman di media yang menggunakan sejumlah halaman untuk promosi/kampanye di media.
Narasumber dari KPU Provinsi Bali yaitu Dewa Wiarsa Raka Sandi menyatakan ada perbedaan Pilkada 2015 dengan Pilkada sebelumnya yakni fasilitasi beberapa item oleh KPU dalam tahapan kampanye, kondisi ini tentu tidak semudah yang dibayangkan karena pendanaan menggunakan anggaran daerah, di beberapa daerah timbul persoalan calon yang ingin fasilitasi lebih namun terhalang fasilitasi daerah (dana) yang dikelola KPU setenpat. Kemudian yang krusial terkait sanksi terhadap media cetak lokal yang dianggap kurang tegas dikarenakan tidak adanya dewan pers di tingkat Provinsi, sehingga kerjasama pengawasan pemberitaan di tingkat Provinsi hanya sebatas KPU, Bawaslu, KPI dan KI sehingga untuk sanksi ke media sangat sulit diterapkan. Ditambahkan Raka Sandi kedepan media perlu diberi ruang khusus (misalnya 1 halaman penuh) dalam memberikan informasi publik terhadap konteks jalannya pilkada.
Dari hasil diskusi didapat rekomendasi yaitu mengembalikan peran media sebagai pendidikan politik bagi masyarakat dan memberikan informasi berimbang, dalam serta akurat, kedua mendorong organisasi profesi wartawan (AJI,PWI dll) dan masyarakat sipil membentuk pool informasi tentang pilkada sebagai alternatif informasi (contohnya kawalpemilu.org, votesmart.org), ketiga dewan pers agar lebih proaktif dalam pelaksanaan pemantauan terhadap berita berita yang diterbitkan oleh media, serta yang paling ekstrim yakni mengembalikan kebebasan media dalam mengakses pemberitaan tanpa diatur lagi oleh aturan saat Pemilu.